“Mahasiswa yang bermimpi kuliah di luar negeri tapi ekonomi pas-pasan, lebih baik tetap mengejar beasiswa atau bekerja saja ya?”
Kali ini kita akan membahas indahnya berbagi perspektif yang saya temukan ketika berselancar di sebuah aplikasi diskusi. Perspektif itu ditulis oleh seorang praktisi ilmu data dan komputasi performa tinggi, kak Radita Liem. Pernah dengar namanya?
Menurut saya, tulisan beliau sangat bagus dan berguna jika dibagikan di sini, terutama untuk menjawab pertanyaan dan kegalauan orang-orang bermimpi ke luar negeri tapi terlahir ekonomi pas-pasan, tetap mengejar beasiswa atau fokus bekerja saja?
Menurutnya, kegalauan semacam itu bisa dibasmi hanya dengan mengganti sudut pandang saja seperti yang dilakukan oleh kak Radita. Dirinya mengaku dapat berganti jurusan, berganti bidang, pernah bekerja di berbagai bidang tidak sesuai jurusan, bahkan mencoba studi lanjut di luar negeri di usia mendekati kepala 3.
Apakah semuanya terlambat? TIDAK. Beliau tidak pernah merasa itu semua terlambat, harusnya begini harusnya begitu, apakah harus mengorbankan ini dan itu, apakah sudah tidak ada harapan kalau berusia x tahun dan seterusnya.
Gambar di atas adalah alur hidup mayoritas orang-orang di Indonesia yang memiliki angka harapan hidup di usia 70 tahun. Lalu bagaimana orang-orang memanfaatkan jarak dari lulus SMA (karena pendidikan wajib) sampai meninggal itu sekitar 52 tahun, dan kalau dari lulus kuliah sampai meninggal itu 48 tahun?
Kak Radita menuturkan, dalam jangka waktu itu sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita pilih untuk dilakukan, apa saja?
- Belajar bahasa asing, menguasai bahasa asing melebihi tahap/target bisa mengerjakan IELTS dan TOEFL ataupun tes bahasa lainnya sesuai keinginan program beasiswa. Kamu bisa jadi menikmati cerita-cerita berbahasa asing, berkomunikasi dengan orang dari berbagai kultur yang berbeda sampai akhirnya mendapatkan informasi-informasi yang ternyata sangat berharga.
- Miliki hobi-hobi menarik. Tantang diri mengikuti berbagai perlombaan, mengerjakan berbagai program sukarelawan, bertemu dengan banyak orang, mendirikan bisnis, mencoba bekerja dengan berbagai orang, dan mencoba berbagai macam pekerjaan. Hal-hal dan pengetahuan ini yang nantinya esensial kita pakai ketika akan menentukan jurusan, memilih program beasiswa, menuliskan esai beasiswa, dan menjawab berbagai macam pertanyaan wawancara.
- Miliki waktu berkualitas dengan orang tua/keluarga. Kak Radita mengaku sudah sering menemui orang yang melakukan studi lanjut baik dengan biaya sendiri maupun beasiswa ketika mereka berusia 30+++ karena mereka ingin memastikan keluarga mereka bisa ditinggal dengan nyaman di Indonesia ketika mereka melanjutkan studi, memastikan kalau mereka tetap memiliki pekerjaan yang bisa dilakukan sekembalinya ke Indonesia, dan berbagai alasan lainnya yang penting untuk mereka.
- Belajar berbagai hal baru. Kita bisa saja mencoba studi lanjut di Indonesia, kemudian mengambil program master kedua di luar negeri atau bahkan mengulang lagi program S1, atau baru melanjutkan program S3-nya yang di luar negeri. Tidak semua orang alurnya itu harus S1-S2-S3, bahkan sudah sekolah sampai S3 lalu berganti bidang juga ada.
- Mengenal diri sendiri. Apakah kamu benar-benar ingin dan menyukai dunia perkuliahan atau yang penting ke luar negeri?
- Jika demikian, kalau kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang ditugaskan di luar negeri apakah sudah cukup senang? atau sebenarnya cuma ingin berwisata? Apa prioritas hidup kamu yang sebenarnya dan apa yang mau kamu lakukan dalam rentang 48 tahun ini?
Jawablah pertanyaan itu dan ambil keputusan yang paling sesuai!
- Kamu lebih khawatir dengan kondisi orang tua dan memprioritaskan mereka sehingga kamu pergi bekerja dengan penuh kesadaran, sambil mengumpulkan dana untuk mengambil kursus bahasa asing dan mencari-cari info beasiswa yang sesuai dengan kondisi. Rencana kamu selanjutnya adalah mengumpulkan uang sebesar x rupiah, sehingga ketika kamu pergi berkuliah, orang tua kamu dapat hidup dengan baik dan aman.
- Orang tua kamu hidupnya pas-pasan tetapi mereka masih berada di masa kerja produktif, kamu pun sudah meminta ijin mereka untuk fokus mendaftar beasiswa luar negeri sampai 1 tahun setelah lulus kuliah, jika tidak ada yang lolos maka kamu akan lanjut bekerja saja sambil mencari-cari informasi dan mendaftar walaupun tidak seintensif ketika baru lulus kuliah.
No galau kan? Yang ada cuma realita dan perencanaan yang matang karena kita sudah mengenal kondisi diri sendiri sebaik-baiknya, dan kita juga tahu bahwa kita memiliki jatah waktu untuk itu, tidak ada tekanan ataupun merasa terburu-buru harus mengikut si ini dan itu yang begitu selesai kuliah S1 bisa langsung lolos beasiswa di luar negeri dan seterusnya. Balik lagi, karena memang tidak relevan juga dengan kondisi dan rencana yang kita miliki.
Dari perpektif yang sudah kak Radita bagikan itu, kita dapat mengetahui bahwa semua orang memiliki problematika dan waktunya sendiri-sendiri. Hanya kita sendiri yang bisa memikirkan dengan baik-baik jawaban yang paling sesuai untuk diri sendiri untuk menjawab pertanyaan: Apakah sebaiknya tetap mengejar kuliah di luar negeri tapi dengan beasiswa? Atau sebaiknya bekerja saja?
Kita sendiri sebenarnya sudah tahu jawabannya tanpa perlu bertanya, bukan begitu?
Referensi:
Radita Liem – https://id.quora.com/Bagi-mahasiswa-yang-memiliki-mimpi-kuliah-di-luar-negeri-tapi-pendapatan-orang-tua-nya-pas-pasan-apakah-sebaiknya-tetap-mengejar-kuliah-di-luar-negeri-tapi-dengan-beasiswa-Atau-sebaiknya-bekerja-saja