Akhir-akhir ini berseliweran tulisan mengenai beasiswa ke luar negeri, baik dari sisi penerima, perilaku penerima, hingga sekembalinya sang penerima beasiswa tersebut dari luar negeri. Sejak beberapa tahun lalu, beasiswa memang menjadi kata yang demikian dikenal di negeri ini. Padahal sebelumnya, hanya kalangan tertentu saja yang membicarakannya. Kondisi itu pun berubah sejak banyaknya program beasiswa yang disediakan baik oleh pemerintah, swasta ataupun asing.
Salah satunya, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Beasiswa LPDP adalah program beasiswa yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia melalui pemanfaatan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) dan dikelola oleh LPDP untuk pembiayaan studi lanjut pada program Magister atau program Doktoral di Perguruan Tinggi terbaik di dalam dan di luar negeri.
Program tersebut memberikan beasiswa bagi para fresh graduate S1 ataupun profesional tanpa syarat yang memusingkan kepala bahkan tak perlu pengalaman kerja. Tak mengherankan jikalau anak negeri pun berbondong-bondong mengadu peruntungan untuk bisa studi dan hidup di negara luar dengan beasiswa ini. Apakah kamu salah satunya?
Kembali ke Tanah Air Untuk Mengabdi
Namun, di satu sisi, tak jarang muncul “gerutuan” atau kritik para lulusan luar negeri terhadap kondisi dan situasi di tanah air, sekembalinya mereka ke Indonesia. Salah satu diantaranya adanya budaya atau culture yang jauh berbeda dan berbanding terbalik jika dibandingkan mereka yang telah tinggal di luar negeri.
Tak semua lembaga beasiswa mewajibkan para penerimanya yang lolos untuk kembali mengabdi di ke negaranya secara langsung. Dalam artian, jika memang penerima tersebut memilih bekerja di negara studinya dan tidak kembali pun tidak menjadi masalah. Hal ini karena mereka akan dijadikan aset, seperti yang telah dilakukan Pemerintah Cina. Menurut jurnal berjudul, “Case Study: The Chinese Government Scholarship Program: The Brain Development Scheme That Illuminates a Vision Across 30 Years” (2017), diceritakan bawah pada tahun 1910 hingga dekade 1940-an Cina berusaha bangkit dengan mengirim 1.000 para pelajar berbakat ke Amerika Serikat. Mereka dibiayai untuk mengenyam pendidikan tinggi di bidang teknik dan sains. Setelah lulus, mereka wajib pulang dan kemudian diberdayakan hingga lahirlah sekolah paling terkenal dan top di Cina bernama Tsinghua School dan National Tsinghua University.
Program itu pun berlanjut, para pelajar Cina menyebar di seluruh penjuru Eropa, Uni Soviet, hingga Jepang untuk menimba ilmu. Namun, di gelombang kedua, ada sekelompok pelajar yang enggan kembali dan memilih berkarir di sana.
Dilema: Kembali ke Tanah Air Untuk Mengabdi Atau Bertahan?
Mungkin kamu bertanya-tanya, apa yang menyebabkan mereka enggan kembali ke tanah air mereka?
Menurut sebuah studi Hessel Oosterbeek yang berjudul “Does Studying Abroad Induce a Brain Drain?” (2011) menyatakan bahwa, salah satu alasan utama mengapa mahasiswa yang belajar di luar negeri dan memilih tidak pulang adalah fakta bahwa mereka memperoleh pekerjaan dengan pendapatan tinggi. Singkatnya, para pelajar yang dikirim keluar negeri untuk menimba ilmu umumnya adalah pelajar berkualitas dan memiliki kegigihan, sehingga mudah bagi perusahaan-perusahaan di negeri seberang menerima mereka.
Falsafah Cina
Cina pun akhirnya sadar bahwa memaksa pelajar tersebut kembali ke tanah air adalah sia-sia. Bersumber dari Qiang (1992) menyatakan, tercetusnya falsafah “Zhichi liuxue, guli huiguo, laiqu ziyou”, artinya mendukung penuh rakyat untuk belajar ke luar negeri, mendorong pelajar-pelajar yang dikirim ke luar negeri untuk kembali dengan iming-iming tertentu, dan membebaskan untuk pulang atau tidak pulang.
Cina bahkan menyiapkan uang senilai 10 juta RMB atau sekitar Rp20 miliar kontan bagi pelajar yang mau kembali dan menghabiskan uang itu untuk melakukan penelitian. Cina menyiapkan tempat khusus di National Natural Science Foundation of China (NSFC) bagi pelajar-pelajar untuk berkarya di dalam negeri. Sedangkan, bagi pelajar yang enggan pulang, Cina menganggapnya sebagai aset untuk masyarakat Cina lainnya. Singkatnya, mereka bisa digunakan untuk memperoleh informasi seputar strategi kuliah, beasiswa, dan lain-lain.
Makna Kata “Mengabdi”
Lain di Cina, lain pula di Indonesia. Jika memang sebelumnya, tekad kamu setelah lulus nanti tidak ingin kembali ke Indonesia, lebih baik hati-hati saat mengambil program beasiswa. Hal ini karena, terdapat beasiswa tertentu yang mewajibkan para awardee-nya untuk kembali ke negara asal, jika tidak maka akan ada sanksi yang dikenakan.
Lalu, bagaimana jika sudah terlanjur?
Nasi sudah menjadi bubur, waktu tidak bisa diputar kembali bukan? Beberapa cara mengabdi yang bisa dipertimbangkan:
- Menyisihkan 10% dari penghasilan sebagai donasi di sebuah yayasan pendidikan
- Menyumbangkan dana pendidikan untuk orang yang tidak mampu yang berbakat
- Aktif menebar manfaat dan inspirasi melalui seminar, konten di media sosial, atau yang lainnya untuk para generasi muda
Selain saran di atas, tentu saja masih banyak yang bisa dilakukan dan pilihannya kembali kepada masing-masing orang. Apapun itu, pilihlah bentuk kontribusi yang sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Ternyata ada banyak cara untuk mengabdi di tanah air, kalau kamu yang mana?
Ref:
Mengabdi kepada Bangsa Tidak Harus Pulang, Wahai LPDP – tirto.id